Intip Kemeriahan Bakar Tongkang, Ritual Memuja Dewa Laut

Bakar Tongkang merupakan festival seni dan budaya yang berasal dari Bagansiapipi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Tradisi tahunan ini berhasil masuk menjadi salah satu nominasi Anugerah Pesona Indonesia untuk kategori Festival Budaya Terpopuler. 

Memang, setiap tahunnya ritual yang mengisahkan pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa bisa sampai ke Indonesia ini selalu menyedot perhatian. Tidak hanya wisatawan domestik, namun juga ditunggu-tunggu wisatawan mancanegera.

Tradisi ini merupakan bentuk pemujaan terhadap dewa laut. Puncak acara biasanya diawali dengan prosesi sembahyang untuk kemudian mengarak Tongkang atau kapal keliling Bagansiapiapi lalu dibakar. Meski panas menyengat, namun tidak menyurutkan pengunjung memadati ritual tersebut. Seperti apa kemeriahannya? Berikut ulasannya.

Festival Bakar Tongkang telah masuk dalam kalender wisata Nasional. Tahun ini acara tersebut digelar pada 20-21 Juni 2016. Sebelum memasuki puncak acara pembakarang tongkang, Kota Bagansiapi-api dipenuhi dengan ornamen khas Tionghoa.

Etnis Tionghoa dari berbagai wilayah Indonesia dan mancanegera seolah pulang kampung demi menyaksikan pertunjukan ini. Tradisi ini memang menjadi napak tilas kehadiran bangsa Tionghoa ke Indonesia.

Sebelum acara puncak biasanya etnis Tionghoa dari berbagai wilayah datang untuk melakukan sembahyang di Kelenteng In Hok Kiong di kawasan Pekong Besar, Kota Bagan Siapiapi. Sembahyang pertama dikenal dengan nama sembahyang, hio-hio (dupa) raksasa mulai dibakar, kemudian sesembahan seperti buah-buahan, daging babi, ikan atau ayam mulai disusun di atas altar. Ini dilakukan malam hari sebelum prosesi pembakaran Tongkang.

Sembahyang ini dilakukan sampai menjelang kapal atau Tongkang dijemput dari tempat pembuatannya.  Siang harinya Tongkang dijemput dari lokasi pembuatan menuju Kelenteng In Hok Kiong dan melewati jalanan Bagansiapiapi. Tentu tidak hanya arakkan Tongkang, karena akan banyak atraksi Barongsai dan  dan berbagai tabuhan  mengiringi arak-arakan tersebut.

Sampainya di Kelentang In Hok Kiong tongkang terlebih dahulu disemayamkan dan aktivitas di sana ditutup. Hal ini dipercaya agar Dewa Kie Ong Ya menjamu dewa-dewa lainnya untuk menikmati shingle yang telah disiapkan para peziarah.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan peresmian Tongkang oleh ahli gaib yang biasa dipanggil Tang Ki. Barulah Kelenteng kembali dibuka untuk kembali melakukan sembahyang. Pada malam harinya digelar berbagai hiburan untuk memeriahkan suasana.

Baca Juga:  Cermin Permaisuri Istana Siak Ini Bikin Cantik yang Berkaca

Selain menikmati hiburan, sebagian warga Tionghoa pada malam itu juga memilih melakukan aktivitas sembahyang di kelenteng In Hok Kian. Pada malam hari ini altar yang berada di depan kelenteng tampak dipenuhi dengan amlop-amplop/kertas angpao yang disusun menyerupai bunga, nenas dan kapal tongkang.

Siang harinya, barulah dimulai pembakaran tongkang. Utusan dari berbegai Kelenteng di Bagansiapiapi dipersiapkan untuk mengangkat tongkang. Setiap rombongan membawa ahli gaib atau Tang Ki plus perlengkapan atraksi debus.  Setelah seluruh pengarak Tongkang berkumpul di halaman kelenteng In Hok Kiong, maka iring-iringan segera menuju arena pembakaran tongkang di Jalan Perniagaan, Bagansiapiapi. Puluhan ribu peziarah mengikuti arak-arakan ini.

Biasanya arak-arakan akan dimulai pada pukul 2 siang dengan diangkat oleh ratusan orang yang berpakaian khusus. Kemeriahan acara ini terlihat ketika arak-arakan dimulai melintasi Kota Bagansiapi-api. Terlebih dengan suara mercun yang membuat suasana semakin gaduh. Ternyata setiap warga di sana juga mempersiapkan dupa dan sesembahan di halaman rumahnya masing-masing.

Sebelum pembakaran maka terlebih dahulu harus menentukan posisi haluan Tongkang sesuai petunjuk Dewa Kie Ong Ya yang menurut filosofi mereka adalah petunjuk arah rezeki atau kebaikan untuk usaha dan keselamatan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.

Apabila tiang jatuh ke laut, maka mereka percaya jika rezeki dan keselamatan tahun ini akan berada di laut. Namun, bila tiang jatuh ke arah darat, maka rejeki dan keselamatan akan berada di darat. Setelah mengetahui arahnya, maka Tongkang diletakkan dan kertas sesembahan ditimbunkan dekat lambung kapal yang sedang dibakar. Ribuan orang memenuhi arena pembakaran Tongkang. Masing-masing tampak memegang dupa.  Tidak lama, api sudah berkobar menjadi besar.

Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan terhadap dewa laut. Kisahnya, sekitar dua abad yang lalu etnis Tionghoa mengalami rezim kejam di negaranya. Mereka kemudian menyelamatkan diri melalui jalur laut. Kaum pengungsi ini melarikan diri dengan menggunakan 3 tongkang.  Namun 2 tongkang diantaranya tenggelam dilanda badai, hanya 1 tongkang yang selamat dan menemukan daratan.

Baca Juga:  Tari Zapin Api, Budaya Melayu Riau yang Anti Mainstream

Dalam kapal yang selamat tersebut ada dua arca dewa-dewa Tuan Raja (Ong Ya), Tai Sun Ong Ya dan Kie Ong Ya, sehingga keduanya dianggap telah menyelamatkan mereka.

Di tanah baru yang bernama Bagansiapi-api ini, para pengungsi tersebut kemudian mendirikan Kelenteng In Hok Kiong. Mereka bertekad untuk tidak lagi kembali ke Tiongkok, maka dibakarlah tongkang yang semula mengangkut mereka.

Foto: www.tripriau.com