Ketahui Hukum Menertawakan Orang yang Kentut

Pada satu kondisi seseorang bisa saja kelepasan buang angin atau kentut ditempat umum. Hal ini biasanya akan diikuti gelak tawa atau ejekan dari orang-orang disekitarnya. Sepintas, tindakan itu terlihat lumrah dan biasa saja.

Namun ternyata dalam Islam menertawakan orang yang kentut menjadi salah satu perhatian Rasul. Selain membuat mereka malu, tindakan menertawakan orang yang kelepasan kentut merupakan perilaku kaum jahiliyah terdahulu.

Kentut merupakan bagian dari rangkaian metabolisme tubuh dan semua manusia normal mengalaminya. Lantas mengapa tertawa terhadap hal yang bisa saja juga terjadi pada diri sendiri. Islam dengan tegas mengatur hal ini. Seperti apa hukumnya? Berikut ulasannya.

Meski terkesan agak jorok, namun tidak ada orang yang mau mempermalukan dirinya karena kentut. Pastinya jika kondisi kelepasan ini terjadi, hal ini merupakan tindakan tidak sengaja dan tidak diinginkan. Kecuali, dihadapan mereka yang sudah dikenal dekat. 

Ini merupakan adab bersosial dalam Islam. Melalui Rasulullah SAW, Allah SWT memperingatkan kita agar tidak mengejek kondisi yang dialami oleh orang lain, sementara kita juga mengalaminya. Seperti halnya kentut, dimana kita sendiri juga berpotensi mengalami hal serupa. 

Dari sahabat Abdullah bin Zam’ah radhiyallahu ‘anhu menceritakan  bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah. Beliau menceritakan tentang kisah onta Nabi Sholeh yang disembelih kaumnya yang membangkang. Beliau menafsirkan firman Allah di surat as-Syams.

Kemudian beliau menasehati agar bersikap lembut dengan wanita, dan tidak boleh memukulnya. Kemudian beliau menasehati sikap sahabat yang tertawa ketika mendengar ada yang kentut.

“Mengapa kalian mentertawakan kentut yang kalian juga biasa mengalaminya.” (HR. Bukhari 4942 dan Muslim 2855).

Baca Juga:  Lima Golongan yang Terbebas dari Pertanyaan Malaikat di Kubur

Ternyata menertawakan orang yang kentut merupakan tindakan jahiliyah. Dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi, Al-Mubarokfuri mengatakan, bahwa ketika zaman Jahiliyah, jika dalam suatu majelis ada yang kentut, maka mereka beramai-ramai menertawakannya. Namun kemudian Rasulullah melarangnya.

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan : Umumnya orang akan menertawakan dan terheran dengan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada dirinya. Sementara sesuatu yang juga dialami dirinya, tidak selayaknya dia menertawakannya. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang menertawakan kentut. Karena kentut juga mereka alami. Dan semacam ini (menertawakan kentut) termasuk adat banyak masyarakat. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/120).

Kemudian Imam Ibnu Utsaimin juga menyebutkan satu kaidah : Ini merupakan isyarat bahwa tidak sepantasnya bagi manusia untuk mencela orang lain dengan sesuatu yang kita juga biasa mengalaminya. Maroji’ : syarh riyadlush sholihin, (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/120).

Ini menjadi salah satu adab dalam menjalankan keseharian. Bagi yang kelepasan kentut, bisa meminta maaf kepada orang lain karena tidak mampu menahan diri. Jika bisa menahan, sebaiknya menjauh dari keramaian. Sementara bagi yang mendengar, cukup diam saja karena hal itu juga bisa terjadi pada diri sendiri.