Jika Wanita Tidak Mengganti Utang Puasa Tahun Lalu

Puasa ramadhan tinggal menghitung hari. Kewajiban menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu ini sebulan penuh akan Umat Islam jalani. Sudah menjadi rutinitas disaat puasa wanita dewasa tidak bisa menjalankan secara penuh.

Salah satu alasannya adalah karena fase menstruasi yang dialami sebulan sekali. Selain itu, biasanya wanita juga membatalkan puasa karena sedang hamil, menyusui atau sedang dalam perjalanan.

Meski boleh membatalkan, namun tetap ada kewajiban untuk mengganti pada hari di luar Ramadhan. Akan tetapi dengan banyaknya kesibukan terkadang wanita lupa mengganti hingga Ramadhan tahun yang baru sudah didepan mata? Bagaimana pandangan Islam jika wanita tidak mengganti utang puasa tahun lalu? Berikut ulasannya.

Tidak bisa dipungkiri jika wanita masa kini dipenuhi dengan beragam kesibukan yang begitu menyita waktu. Tanpa disadari ternyata bulan sudah memasuki Sya’ban dan sebentar lagi masuk Ramadhan. Namun sayangnya kewajiban puasa yang batal di tahun lalu juga tidak kunjung diganti.

Ternyata hal ini menjadi perhatian serius yang seharusnya diketahui. Pasalnya utang puasa layaknya utang uang atau barang yang harus dilunasi. Jika kita tidak melunasi utang uang atau barang, yang kita hadapi adalah manusia, namun kasus jika utang tersebut adalah  puasa Ramadhan, maka yang akan kita hadapi adalah Sang Maha Pencipta, Allah SWT di akhirta kelak.

Wanita boleh meninggalkan puasa wajib jika Ia mengalami kondisi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan puasa. Namun Ia tetap harus mengganti atau mengqadha puasanya pada bulan-bulan lainnya.
Ada dua kondisi dimana wanita belum membayar utang puasa tahun lalu. Pertama karena karena alasan sakit, sakit permanen yang tidak bisa sembuh, atau memang sengaja mengulur-ulur waktu sehingga kewajiban membayar utangnya terlewatkan.

 Menurut pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm jika seorang sengaja mengakhiri utang puasa hingga datang Ramadhan selanjutnya maka dia tetap wajib mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat.

Baca Juga:  Alasan Kenapa pada Zaman Rasul Mushaf Al-Qur’an Tidak Ditulis di Kertas

Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz,  ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia). Menurutnya, orang yang tidak mengqadha puasa wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan dan tetap wajib menqodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Kondisi kedua Ia terpaksa tidak membayar utang puasa karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya aja.

Jadi bisa disimpulkan jika wanita meninggalkan utang puasa hingga masuk ke Ramadhan berikutnya maka Ia wajib bertaubat kepada Allah mengqodho’ puasa, dan wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Namun jika memiliki udzur (seperti karena sakit atau menyusui sehingga sulit menunaikan qodho’), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja. Semoga informasi ini bermanfaat untuk pembaca setia info yunik.